Minggu, 05 Juli 2009

Asal ada minat belajar, PKBM Bina Insan Mandiri terbuka untuk semua


Sebutan anak-anak Master (masjid terminal) menjadi kebangaan tersendiri bagi anak-anak yang tinggal di masjid terminal. Nama masjid terminal itu adalah Masjid AI Muttaclien, tempat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) yang memang berada di areal Terminal Kota Depok.

Pendidikan gratis ditawarkan Yabim untuk tingkat TK sampai SMA, termasuk untuk program Paket A sampai Paket C. Sekolah ini dirintis oleh remaja masjid yang tergabung dalam Ikatan Remaja .Masjid Al Muttagien (Ikrima) pada tahun 2001. Awalnya untuk SMP saja masih bersifat informal. "Sebagai bentuk dauroh atau pendidikan tentang akhlak saja," kata Wirawan Godek (24), pengamen yang kini menjadi relawan di sekolah itu beberapa waktu lalu.

Dari pengurus remaja Masjid Al Muttaqien inilah muncul pria bernama Nurohim yang dikenal sebagai motor komunitas Master. Melalui Yabim yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, komunitas Master dikenal berbagai kalangan dari perusahaan sampai perguruan tinggi ternama.

Nurohim terus mengembangkan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan, pemulung, pengasong, dan sebagainya. "Mereka adalah kaum marginal, yang terpinggirkan," katanya.

Apa yang dikerjakan Nurohim terus berkembang hingga kini operasional pendidikan dan kesehatan membutuhkan biaya operasional Rp 20 juta - Rp 25 juta sebulan biayanya didapat dari bantuan berbagai pihak. Dalam satu bulan klinik di sana bisa memberi pengobatan gratis kepada 600-700 orang miskin.

Kalau hanya untuk pendidikan saja, sebenarnya Yabim sanggup menampung 5.000 anak yang belajar sampai gratis di jenjang SMA. Saat ini dari TK, SD, sampai SMA dibuka untuk pagi dan siang hari. Siang hari, diprioritaskan untuk SMA. Kemudian pada malam hari pukul 20.0022.00 giliran kelas malam yang dltkuti pembantu rumah tangga, tukang sapu, pelayan toko, pengasong, dan sebagainya. "Nah ini usianya yang sudah 'kedaluwarsa'. Kelas ini kami tambah juga dengan pelajaran life skill, dari soal otomotif sampai sablon," katanya.

Yabim kini mengelola sekolah formal dan nonformal mulai TK PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sebanyak 200 anak, SD sebanyak 400 anak, SNIP sebanyak 600 anak, dan SMA sebanyak 800 anak. Jumlah ini, kata Nurohim, terus bertambah apalagi Yabim berlokasi di tengah terminal. ' Tidak ekslusif, tidak formal dan jauh dari birokrasi sehingga membuat anak-anak nyaman," katanya.

Anak-anak yang mau belajar dan tidak tertampung di PKBM Yabim, oleh Nurohim disalurkan ke mitra di beberapa pondok pesantren. Yabim juga bisa menyalurkan tanggung jawab sosial perusahaan untuk pendidikan bagi anak-anak miskin ke mitra lembaga pendidikan lainnya.

Menurut Nurohim, anak-anak jalanan cenderung trauma dengan birokrasi dan sikap antipati terhadap pemerintah. Bila perlu selama hidupnya tidak memasuki kantor-kantor pemerintah. "Karena mereka tahu yang dilayani hanya yang punya duit. Mereka juga menjadi korban dan dikejar-kejar. Makanya begitu ada sekolah dan obat gratis, bagi mereka luar biasa," katanya.

Selain mengadakan pendidikan gratis, Yabim juga melakukan pemberdayaan kesehatan bagi orang tak mampu melalui Klinik Madani Yabim. Termasuk advokasi bagi anak-anak yang menghadapi masalah menyangkut pelayanan pendidikan atau pelayanan kesehatan. Permasalahan klasik yang kerap dihadapi Yabim, hampir separuh muridnya adalah mereka yang tidak bisa mengambil ijazah di sekolah asalnya karena masih menunggak biaya sekolah. "Kalau sekolah negeri yang menahan ijazah saya tidak akan beri ampun. Walau hanya sekadar fotokopi ijazah saja.. Bagaimana kalau mereka nanti berhasil dan man maju kalau tidak ada lembar ijazah. Relawan saya dari SMAN 1 dulu diterima di UNJ dengan meminta fotokopi ijazah," tuturnya.

"Tapi kalau sekolah swasta saya yang agak repot, harus memohon-mohon. Kalau ada uang ya saya tebus, kalau tidak kadang perlu digertak juga sekolah-sekolah yang menghambat pendidikan anak dengan menahan ijazah," ujarnya.

Soal advokasi, Nurohim menyatakan pihaknya tidak memandang apakah penduduk legal Depok atau bukan. Siapa saja yang membutuhkan dibantu. Biasanya ia memperjuangkan yang tidak memiliki KTP Depok di bidang kesehatan dan pendidikan melalui lembaga-lembaga zakat yang ada, seperti Baznas, Rumah Zakat, dan Dompet Dhuafa.

Dari kerja sama dengan berbagai pihak, Yabim tidak menerima apa-apa. Tetapi Yabim menywarkan "produk" mereka seperti tenaga siap pakai untuk Satpam, petugas cleaning service, sampai pembantu rumah tangga.

Kegiatan Yabim mulanya di rumah Nurohim yang terus dikembangkan hingga memanfaatkan lahan seluas 3.700 meter persegi, 700 meter persegi di antaranya fasum-fasom terminal. Meski demikian Yabim masih dililit piutang untuk membebaskan lahan dan bangunan, ganti rugi lapak, konsumsi guru yang kini tersisa piutang sebesar Rp 65,7 juta.

Belum lagi jika anak-anak jalanan ditangkap petugas Satpol PP. Atau ibunya yang ditangkap sedangkan anak-anaknya hanya bisa menangis di kantor Yabim.

Anak-anak di Komunitas Master kebanyakan "anak kucing garong". Banyak anak yang ayahnya adalah "Bang Thoyib". "Ini yang membuat batin saya gelisah," ujar Nurohim. Apalagi ketika ia meminta anak-anak jalanan yang kena razia dilepas ia malah dimintai duit karena dituduh sebagai bos yang terima setoran duit anak-anak jalanan. (Warta Kota/Mirmo Saptono)

Jumat, 03 Juli 2009

DARI SEKOLAH TERMINAL KE JUARA SELEKSI OLIMPIADE TINGKAT NASIONAL

Berita Baznas

Pemuda itu tampak sedikit canggung saat ditemui tim Baznas seuasai pelajaran sekolah. Sementara gadis manis di sebelahnya tersipu malu. Sekilas, keduanya tampak seperti remaja SMU kebanyakan. Bicara mereka spontan khas anak muda. Sesekali keduanya tertawa kecil saat menceritakan hal-hal lucu yang mereka alami. Namun siapa sangka, keduanya adalah Juara I dan Juara II Seleksi Olimpiade Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) tingkat Nasional di Cilandak, Jakarta 2008 lalu. Istimewanya lagi keduanya tidak berasal dari sekolah negeri atau swasta ternama namun berasal dari Sekolah Gratis bagi anak dhuafa di Masjid Terminal (Master) Depok.

Sang pemuda bernama Raka Novian (15). Siswa program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) paket C (Setara SMU) dari Bina Insan Mandiri (Unit Salur Zakat mitra BAZNAS) di kawasan masjid terminal Depok. Ia adalah putra sulung dari Muhammad Ramdani (38) dan Karmina (41), seorang guru dan seorang Ibu rumah Tangga yang tinggal di kawasan Tanah Baru, Depok. “Sebelumnya saya bersama ayah tinggal di Purwakarta dan pindah ke sekolah PKBM pada saat saya naik ke kelas III SMP,” ujarnya. Menurut Ramdani sang ayah, mereka pindah ke Jakarta dan ke sekolah itu karena keterdesakan ekonomi. “Kami pindah untuk mencari peruntungan yang lebih baik di Jakarta. Sementara, semua SMP di Jakarta mahal, bahkan yang Negeri pun masih mensyaratkan biaya untuk buku-buku dan biaya tambahan lain,” ujar pria yang turut menjadi relawan pengajar di sekolah terminal PKBM Depok tersebut. Selain memeangkan seleksi olimpiade, Raka juga mendapatkan nilai ujian nasional SMP yang baik untuk semua mata pelajaran yang diujikan dengan rata-rata nilai 8,5.


Jika juara pertama diraih oleh Raka, maka juara kedua diraih oleh Maya Ratnawati (14), juga siswa program belajar paket C Masjid Terminal Depok. Sejak kedua orang tuanya meninggal, gadis yang biasa dipanggil Maya ini kemudian dirawat oleh sang paman Sapono. Dikarenakan keterdesakan ekonomi sang paman, ditambah lagi kondisi sang kakak yang terkena gangguan kejiawaan membuat Maya tak punya pilihan lain selain keluar dari sekolah SMU Swasta 20 Mei untuk bergabung dengan sekolah Terminal Depok. “Awalnya saya takut untuk bersekolah di sekolah terminal ini karena khawatir dengan teman-teman yang banyak berasal dari anak-anak jalanan,” ujarnya mengenang. “Alhamdulillah, saya bisa memenangkan perlombaan seleksi olimpiade ini di sekolah yang saya ragukan dahulu,” ujarnya penuh syukur.


Kemiskinan bukan hambatan berprestasi

Alhamdulillah, keduanya mampu membuktikan bahwa kemiskinan bukan hambatan berprestasi. Di tengah keterbatasan sarana dan pra-sarana Sekolah Terminal ini mereka mampu menunjukkan bahwa tekad, ketekunan serta ridho Allah SWT mampu mewujudkan hal yang dianggap mustahil.


Sekolah PKBM Masjid Terminal Depok ini memang diselenggarakan secara gratis untuk para anak-anak dhuafa termasuk anak-anak jalanan. Menurut Koordinator Karitas Baznas, Sugeng Riyanto, yayasan Bina Insan Madani sebagai salah satu Unit Salur Zakat Baznas telah menyelenggarakan sekolah ini sejak beberapa tahun yang lalu. “Diawali dengan sekolah gratis yang diselenggarakan di masjid, kini sekolah termianl ini sudah memiliki beberapa ruang kelas yang dibangun dari bangunan kayu sumbangan dari berbagai donatur,” ujarnya. Ini bukan berarti bahwa sarana dan pra-sarana sudah benar-benar memadai. “Guru-guru di sini masih mengajar dengan sukarela dan hanya diberikan dana transport sekadarnya,” jelas Sugeng. Untuk itu, uluran tangan dari para muzakki dan berbagai instansi pemerintah maupun swasta untuk terus mengembangkan sarana di sekolah ini sangat diharapkan.


Bicara tentang cita-cita ke depan, Raka dan Maya sepakat bahwa mereka ingin melanjutkan pendidikan mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi. “Saya bercita-cita ingin jadi arkeolog karena suka sekali dengan pelajaran sejarah,” ujar Raka. Ia berharap, jika saatnya tiba kelak, ia akan mampu meneruskan studi di UI dan mengambil jurusan psikologi. Senada dengan itu, Maya juga berharap ia dapat menjadi orang sukses dan tidak tergantung dengan orang lain. “Saya ingin bisa mandiri,” harapnya. Ya, semoga harapan mereka dapat terwujud dengan dukungan dari berbagai pihak baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat umum melalui dana zakat infaq dan shadaqah yang diberikan. Amiin.

berdasarkan www.baznas.or.id



Sekolah Master merajut mimpi lewat kehangatan dan semangat untuk maju


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Real Estate. Powered by Blogger